This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 18 November 2015

Budaya Kapitalisme dan Nepotisme






Perkembangan Kapitalisme dan Nepotisme semakin meresahkan para pengangguran di Indonesia, kususnya saya!! Kenapa dengan saya? Selain saya berasal dari keluarga yang ekonominya pas-pasan, relasi kurang dan nilai kelulusan yang rendah, saya juga tidak mempunyai keahlian(soft skill). Bahkan sampai saat ini saya masih menyandang sebagai tokoh PENGANGGURAN. Miris memang!!! 

SiAdul merupakan teman SMA saya, setelah menyelesaikan pendidikan SMA-nya, (Karena dia berasal dari keluarga borjuis) dia membuka sebuah usaha properti hingga kini penghasilannya cukup drastis. Reza adalah teman sekampus dengan saya, (Karena pamannya seorang pejabat birokrat), sekarang dia sudah menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil di salah satu instansi di daerahnya. Cukup dengan dua peristiwa kecil itu, mengindikasikan bahwa Kapitalisme dan Nepotisme adalah dua konsep yang paling efektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan.


KAPITALIS

Kata seorang pejabat modern,"Kapitalis membuat Negara semakin maju, dan menjadikan rakyat lebih kreatif dan produktif dalam berusaha dan mengejar cita-cita" (tentunya agar rakyat tidak manja).
Terlepas daripada definisi dan sejarahnya, jika kita mau mencermati lebih luas, kemajuan sebuah Negara (dalam konsep kapitalis) belum tentu membuat rakyat sejahtera, bahkan praktiknya dapat menindas rakyat yang lemah, lihat kota-kota besar, pertumbuhan kriminal, pengangguran, pengemis, dan nilai-nilai sosial lain yang cenderung kurang diperhatikan. Melirik dari segi perkembangannya, Kapitalis juga gagal menciptakan manusia yang produktif, buktinya tidak semua manusia bisa menciptakan kreatifitasnya, baik yang berpendidikan, apalagi yang tidak. Lihat mahasiswa sekarang, hasil karya mereka begitu kurang, mereka hanya berlomba mengejar nilai kelulusan yang tinggi, katanya sebagai prestasi, tapi nyatanya tidak lebih agar mencukupi target permintaan perusahaan.Kapitalis itu sesungguhnya hanya menguntungkan bagi pihak yang memiliki modal/borjuis, sehingga terciptalah sebuah kesenjangan sosial, di mana yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin menjerit.

NEPOTISME

Berbicara soal konsep yang satu ini, saya kira nongkrong sampai sepuluh warung kopi tiap harinya, tetap saja sekedar bahan obrolan semata. Karena, virus praktik Nepotisme di Indonesia sudah sampai ke tingkat kelurahan, dan berjalan tanpa kritikan. Sejauh ini, pemerintah juga tidak ada membuat sebuah langkah serius untuk menghapus praktik ini, ironinya, pemerintah sendiri yang rajin membudayakannya.
Nepotisme memandang aturan dan prosedur hanya sebagai bahan pelengkap untuk sebuah syarat dalam mengikuti seleksi, padahal semua posisi yang dibutuhkan sudah diisi dengan nama-nama dari keluarga maupun kroninya (tanpa mempertimbangkan kualitasnya).Sementara kita lihat di dunia nyata, cukup banyak orang-orang yang cerdas dan idealis tidak ditempatkan pada posisi yang wajar, bahkan cenderung diabaikan, orang yang berlatar-belakang pendidikan tinggi, tidak ada arti bagi Nepotisme, tetapi cukup berarti bagi kapitalis, karena untuk dijadikan budak diperusahaannya.


KESIMPULAN 
Manusia yang menikmati kedua "aliran sesat" tersebut, merasa tidak penting lagi yang namanya pendidikan, bahkan kesenjangan sosial hanya sebuah bahan tontonan belaka.
Manusia dengan pendidikan yang rendah, modal yang lemah, relasi dan ahli(soft skill) tidak ada, menjadi seorang pengemis adalah alternatif untuk bertahan hidup. Sehingga tidak heran mereka berpikir bisa makan sekali sehari saja sudah hebat. Hidup itu bukan berbicara soal persaingan bro, seperti dalam teori Charles Darwin, di mana seekor singa bisa menguasai hutan karena fisiknya, melainkan manusia adalah makhluk sosial, konsep sosial adalah satu-satunya agar hidup lebih manusiawi, bermakna, dan sejahtera.




Kamis, 26 Februari 2015

Prosesi Wisuda

Horeeeee.. Terlihat semuanya bahagia, raut wajah yang dulunya mirip kain lap, kena make up manislah sudah, beban yang selama di bangku kuliah sirna sudah ketika memakai baju toga ala Romawi, yang konsepnya pun tidak mengandung Islami.





Entah apa yang sebetulnya yang dibahagiakan. Orangtua, kerabat, sanak saudara, tak ketinggalan ikut terharu bangga lantaran salah satu anggota keluarganya mampu menyelesaikan studi. Mereka berfoto-riya bersama dengan mengabadikan senyuman keikhlasan. 





Setelah puas berfoya-foto, maka prosedur selanjutnya adalah memilih foto yang bagus, gila dan anti mainstream untuk kemudian dimasukkan kekandang yang bernama Facebook. Barangkali ritual mengupload foto ke Facebook adalah rangkaian prosesi wisuda yang wajib dipenuhi sebagai saksi bisu untuk menegaskan eksistensi bahwa “SAYA TELAH JADI SARJANA” .

Padahal, w
isuda itu bukan awal kesuksesan, tapi puncak kebingungan. Jika ketika kuliah dipusingkan dengan banyaknya kegiatan, maka setelah jadi sarjana mereka bingung tidak ada kegiatan, alternatif pengangguran adalah jalan satu-satunya.

Akan tetapi meskipun begitu, tetap saja minat untuk wisuda dan menyandang gelar sarjana tetap menjadi idaman kaula mahasiswa. Termasuk saya...