This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 20 Desember 2016

Dari Peluru Menuju Pemilu.. Akankah Berbuah Pilu?




Berawal dari sebuah perang gerilya yang memperjuangkan kemerdekaan Aceh, mereka ini tanpa digaji, tapi mereka punya nyali, harga diri Negeri merupakan doktrin "Tak takut mati".

Itulah sepenggal cover kisah gerakan GAM, sebuah gerakan perlawanan bersenjata yang kini berubah menjadi partai politik (Partai Aceh), adalah partai yang lahir dari metode gerakan atau taktik gerakan. Perubahan GAM juga mirip Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang kemudian mengubah taktik menjadi partai politik dan ikut Pemilu.

Berdirinya Partai Aceh merupakan sebuah warna baru dalam iklim perpolitikan di Aceh pasca konflik, dan sekaligus partai ini menjadi kekuatan besar atas dukungan masyarakat Aceh. kepercayaan masyarakat yang diberikan kepada Partai Aceh, menjadi dasar legitimasi untuk melaksanakan implementasi UUPA dan MoU Helsinki.
Kepercayaan ini mulai ditunjukkan pada Pilkada 2007, ketika pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur yang diusung Partai Aceh berasal dari pejuang GAM, yaitu Irwandi Yusuf berpasangan dengan Muhammad Nazar dan berhasil meraih kemenangan. Begitu juga dengan Calon Bupati/Walikota, sebagian besar daerah dimenangkan oleh Partai Aceh. Tidak hanya itu, Dua tahun kemudian, pada pertarungan Pemilu 2009, suara untuk Partai Aceh mampu menjadi juara.
Bahkan sampai saat ini, dengan simpatisan yang begitu solid dan terorganisir, menjadikan Partai Aceh sebagian besar masih tampil mendominasi di setiap pemerintahan daerah maupun kursi DPRD, dan tentu menjadi poros penting dalam setiap pertarungan demokrasi di Aceh.

Namun menjelang Pilkada serentak pada 2017 kedepan, tingkat kepuasan publik mulai diragukan. Partai yang dipimpin oleh Muzakir Manaf tersebut, dalam sebagian lembaga survei menyatakan elektabilitasnya mulai redup, pasalnya ada berbagai asumsi penilaian yang muncul di kalangan masyarakat, baik dari segi penilaian lemahnya pencaturan ideologi politik maupun secara kebijakan partai yang cenderung tirani, maka dapat berpengaruh pada tingkat kepercayaan publik.

Jika kita melihat dari sisi konteks Visi-Misi Partai Aceh sendiri, sejauh ini memang belum cukup mampu di realisasikan. Padahal, Partai Aceh merupakan cita-cita masyarakat sebagai perahu yang akan membawa Aceh mewujudkan impian kemerdekaan, sebagaimana yang tertuang dalam UUPA dan MoU Helsinki. Namun sudah satu dekade di bawah pemerintahannya, impian itu masih belum terang, artinya Partai Aceh belum mampu menjadi partai sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat Aceh.

Tetapi yang paling krusialnya adalah dinamika yang terjadi di tubuh Partai Aceh, barangkali membuat sejumlah masyarakat gerah dengan praktik politik yang dimainkan oleh sebagian elit GAM. Ironinya hanya karena kekuasaan sebagian elit GAM keluar dari gelanggang dan membangun poros politik baru. Dinamika ini mulai dipertonton pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur 2012. Di mana ketika hasil keputusan partai tidak mendukung pencalonan Irwandi Yusuf yang ke dua kalinya. Gengster mulai pecah, Irwandi mulai bermanuver dengan sejumlah elit-elit GAM lainnya hingga mencalonkan diri jalur Independen dan sekaligus membangun gerbong baru dengan inisial PNA. Atau nama lengkapnya Partai Nasional Aceh.

Kemudian menjelang Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur 2017 ini, gengster kembali terpecah, terlepas dari sudut kausalitas pemicu konfliknya, namun dari segi realitasnya, kita ketahui bersama dari ke enam kontestan calon Gubernur tersebut, empatnya berlatar belakang eks petinggi GAM/Partai Aceh. Mereka ini lahir dan besar di bawah bendera yang sama, doktrin yang sama, tentu kepentingannya juga sama, sama-sama memperjuangkan Aceh dalam konteks kemerdekaan. Tapi kini format politik mereka berbeda. Pertanyaannya, kenapa harus beda?

Dalam prinsip para elit berpolitik, "bersama karena kepentingan, berpisah karena beda kepentingan" yang namun intinya adalah berbicara politik itu berbicara kepentingan". Nah, jika seperti itu, kepentingan apa yang mereka perjuangkan? Jika mereka berbicara soal kepentingan kemerdekaan, kenapa mereka tidak memperjuangkan di bawah bendera yang sama?

Memang, demokrasi punya warna tersendiri, namun kali ini kurang dipahami fisosofi di balik keindahan warna tersebut. Mereka lupa bercermin pada peristiwa dinamika politik yang terjadi di tubuh partai-partai Nasional hingga melahirkan kepengurusan ganda. Katakanlah misalnya Partai Golkar, ada kubu Aburizal Bakrie yang berseteru dengan kubu Agung Laksono, atau PPP, antara kubu pimpinan Djan Faridh dengan kubu Romahurmuziy. Meski harus menempuh jalur hukum hingga menghasilkan kekalahan pada salah satu kubu, namun profesionalitas elit-elit ini tetap terjaga dan tidak pernah keluar dari gelanggang.

Partai politik memang penuh dengan dinamika, namun prinsip loyalitas dan integritas terhadap partai adalah etika berpolitik yang sesungguhnya. Tidak perlu menunjukkan eksistensi bahwa "SAYA JUGA BISA", sebab ada yang tepuk-tangan atas sikap ke-egoisan ini.

Disadari atau tidak, dinamika ini menunjukkan sebuah kebodohan bagi elit GAM dalam berpolitik. Mereka semua terjebak pada kekuasaan dalam perangkap demokrasi.

Dinamika politik elit GAM tentu sangat berefek terhadap keberadaan Partai Aceh yang merupakan embrio organisasi perjuangan politik GAM dari perjuangan bersenjata sebelumnya. Kepercayaan masyarakat tidaklah berdiri di atas jargon atau slogan, justeru ada expire date-nya.

Kalau transformasinya seperti ini, Pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur 2022 mendatang, dapat dipastikan perpecahan gengster di tubuh GAM/Partai Aceh akan bertambah lagi. Miris! Ketika berada di medan peperangan, solidaritas mereka begitu teguh, walau peluru mengancam menembus nyawa mereka. Tetapi ketika gerakan ini berubah menjadi partai politik, semboyan "DONG BEUKONG BEUTEUDONG LAGE TEUPULA" mulai dipertanyakan.

Sebuah kisah di mana pejuang Aceh pernah dikalahkan oleh Kolonialisme dengan cara menghamburkan uang receh ke rantingan bambu. Apakah teori ini yang sedang terjadi di tubuh GAM/Partai Aceh? Wallahu'alam..

Padahal sebuah apresiasi sudah didapatkan bagi gerakan GAM sendiri, yang telah berjuang hingga melahirkan semangat bagi Aceh dalam bentuk UUPA dan MoU Helsinki. Tinggal bagaimana metode yang harus dijalankan agar semua itu terealisasi dengan efektif. Maka jika konflik internal terus terjadi seperti ini, ada kemungkinan manifesto MoU Helsinki akan berbuah pilu.

Aceh tidak bisa lepas dari riwayat sejarah perjuangan kemerdekaan. Sudah cukup Daud Beureueh dan tokoh-tokoh lain yang disalahkan oleh sejarah. Maka pastikan estafet pada gerakan GAM ini tidak akan mengulangi catatan sejarah itu lagi.



Jumat, 09 Desember 2016

PUISI : Pray For Pidie Jaya





Subuh Rabu legi.. Bumi pidie bergerak, tersentak mengeluarkan goncangan yang dahsyat, kalimat "Laailahaillallah" terkumandang di setiap sudut, bangunan-bangunan yang angkuh luluh seketika, sementara tubuh-tubuh yang lelap terperangkap dalam situasi..

Pidie berkabut.. Senyum kembali terselimut, hari ceria hilang ditelan duka, semangat hidup penuh luka dan lara, ketika orang tua kehilangan anak, Ketika anak harus kehilangan tempat mengadu diri. Tangisan terus berderu, air mata terus bercucur, jiwa-jiwa yang hebat lemah tak berdaya..

Pidie Jaya.. Negerimu adalah negeri para legenda, sejarah sudah berkata bahwa kau adalah raja. Kerak bumi yang bergerak mengisyaratkan Negerimu akan bangkit dan kembali "berjaya"..

Sabarlah kawan.. Anggaplah air mata itu sebagai kado cobaan Tuhan. Yakinlah esok Allah akan memperlihatkan keagungan-Nya..

Tenanglah kawan.. Kau tak sendirian, Allah mempersaudarakan orang-orang beriman, kita akan bersatu atas nama iman dan cinta, meski kita bahkan tidak pernah punya sejarah cinta sebagai sebuah bangsa, maka ketika badai meluluhlantakkan bumimu, cinta akan mengalir lebih dahsyat..

Tidurlah kawan.. Malam tak selamanya gelap, kita akan bersatu menembus pekat, karena Allah menjanjikan cahaya atas kesabaran dan ketabahan kita..

Jumat, 02 Desember 2016

Gelar Haji/Hajjah.. Sensasikah?








Indonesia adalah Negara yang terkenal menjunjung tinggi nilai-nilai "sensasi, narsisme, pencitraan, dan tradisi kebiasaan ikut-ikutan". Diketahui dari cara menggunakan tekhnologi, internet, fashion, dan lain-lain. Bahkan tidak sedikit bisa tampil fenomenal di televisi maupun di kalangan masyarakat. Suatu tindakan kerap dilakukan tanpa harus berpikir terlebih dahulu. Termasuk dalam cara menggunakan gelar untuk sebuah nama.
Terlepas pada tingkatan pendidikan seseorang, kebiasaan itu bukan hanya di kalangan remaja saja, bahkan orang-orang dewasa juga terhipnotis dalam kebiasaan ini. Ada yang suka berlomba mengoleksi barang-barang mewah tanpa memikirkan manfaatnya, padahal jika kita mau berpikir secara objektif, tujuannya hanya untuk menunjukkan sebuah sensasi atau sikap arogansi.


Sejarah dan Perkembangannya:

Dalam versi Wikipedia, gelar H/HJ disematkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengidentifikasi para jemaah haji Indonesia yang mencoba memberontak sepulangnya dari Tanah Suci. Mereka dicurigai sebagai anti kolonialisme, dengan cara berpakaian ala masyarakat Arab yang disebut oleh VOC sebagai “kostum Muhammad dan sorban”.

Sejauh ini, terlepas pada niat seseorang, perbedaan orang yang sudah berhaji dengan yang belum berhaji, menjadi tolok ukur tertentu dalam konteks kehidupan sosial masyarakat, mulai dari cara berpakaian, atau dengan cara sosial lainnya.

Contoh kecilnya:


1. orang yang sudah berhaji kemana-mana harus memakai peci berwarna putih, ini dijadikan sebagai identitas perbedaan antara yang sudah berhaji dan belum berhaji;

2. Di kampung-kampung, banyak dari kalangan para haji. membentuk organisasi keagamaan (kusus yang sudah berhaji) dalam rangka melakukan majlis, zikir, dan aktivitas ibadah lainnya;
3. Orang yang sudah berhaji, sering dipanggil dengan sebutan nama "Pak Haji/Bu Hajjah", misalnya Fulan, dipanggil dengan Haji Fulan.


Hakikat dan Problemnya:


Ibadah Haji adalah sebuah ibadah dalam rukun Islam yang ke-lima, dalam hal ini, tentu punya syarat-syarat khusus agar bisa melaksanakannya. Problemnya adalah di mana letak hakikatnya ketika hanya ibadah haji yang memakai gelar, sementara ibadah-ibadah yang lain kok tidak disematkan gelar?


Gelar Haji/Hajjah merupakan gelar yang disematkan kepada orang-orang yang sudah melaksanakan rukun haji dengan sempurna atau Haji Mabrur. Pertanyaannya adalah apa manfaat pasca melaksanakan sebuah ibadah itu harus memakai gelar?


Padahal gelar tersebut tidak ada dalam hadist atau ayat Al-Quran yang menyebutnya. Bahkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat-sahabatnya tidak pernah memakai gelar tersebut.

Sejak awal Nabi Muhammad SAW menolak pemberian gelar-gelar apapun, karena gelar hanya menciptakan perbedaan kelas dan pengkultusan individu, feodalisme dan narsistis. Diakui atau tidak, disadari atau tidak, orang yang memakai gelar H atau Hj merasa dirinya “lebih suci” dibandingkan orang yang belum naik haji. Sesungguhnya ini merupakan “kesombongan” bagi mereka.

Yang lebih ironinya, hanya umat Islam di Indonesia dan Malaysia yang memakai gelar H/HJ, sementara umat Islam di negara-negara lain tidak ada yang menggunakan gelar tersebut. Inilah sebuah tradisi kebiasaan turun-temurun yang sulit dihilangkan, tak peduli pada tingkatan ilmu seseorang, bahkan dalam kalangan profesor-pun masih banyak yang menggunakan gelar H/HJ. Terlalu riya rasanya jika kita memamerkan sebuah gelar, seolah ingin menunjukkan sebuah eksistensi bahwa "SAYA SUDAH NAIK HAJI".


Kesimpulan:


Jangan anda samakan gelar haji dengan gelar pendidikan atau gelar-gelar ilmiah lainnya, itu analogi yang salah, karena berhaji itu adalah ibadah, dan esensi ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karenanya, kita wajib bersyukur kepada Allah SWT dan merendah diri kepada-Nya. Tidak layak hamba bersandar kepada amalnya. Seorang hamba tidak pantas membanggakan amal ibadahnya yang seolah-olah bisa terlaksana karena pilihan dan usahanya semata, apalagi ada perasaan telah memberikan kebaikan untuk Allah SWT.


Berhaji bukan ajang mencari gelar, ibadah bukan aktivitas pencitraan, justeru ibadah haji adalah aktivitas ke ikhlasan, ikhlas karena Allah, ikhlas tanpa harus diketahui orang, ikhlas tanpa harus membanggakan diri dengan gelar.


Jadi, mari sama-sama kita berlomba dalam kebaikan tanpa melakukan pencitraan. Kejarlah prestasi tanpa harus mencari sensasi, kembangkan kreatifitas meski tidak diprioritas, kenalkan diri kita dengan hasil karya yang nyata.



Terimakasih.........