Berawal dari sebuah perang gerilya yang memperjuangkan kemerdekaan Aceh, mereka ini tanpa digaji, tapi mereka punya nyali, harga diri Negeri merupakan doktrin "Tak takut mati".
Itulah sepenggal cover kisah gerakan GAM, sebuah gerakan perlawanan bersenjata yang kini berubah menjadi partai politik (Partai Aceh), adalah partai yang lahir dari metode gerakan atau taktik gerakan. Perubahan GAM juga mirip Ikhwanul Muslimin di Mesir, yang kemudian mengubah taktik menjadi partai politik dan ikut Pemilu.
Berdirinya Partai Aceh merupakan sebuah warna baru dalam iklim perpolitikan di Aceh pasca konflik, dan sekaligus partai ini menjadi kekuatan besar atas dukungan masyarakat Aceh. kepercayaan masyarakat yang diberikan kepada Partai Aceh, menjadi dasar legitimasi untuk melaksanakan implementasi UUPA dan MoU Helsinki.
Kepercayaan ini mulai ditunjukkan pada Pilkada 2007, ketika pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur yang diusung Partai Aceh berasal dari pejuang GAM, yaitu Irwandi Yusuf berpasangan dengan Muhammad Nazar dan berhasil meraih kemenangan. Begitu juga dengan Calon Bupati/Walikota, sebagian besar daerah dimenangkan oleh Partai Aceh. Tidak hanya itu, Dua tahun kemudian, pada pertarungan Pemilu 2009, suara untuk Partai Aceh mampu menjadi juara.
Bahkan sampai saat ini, dengan simpatisan yang begitu solid dan terorganisir, menjadikan Partai Aceh sebagian besar masih tampil mendominasi di setiap pemerintahan daerah maupun kursi DPRD, dan tentu menjadi poros penting dalam setiap pertarungan demokrasi di Aceh.
Namun menjelang Pilkada serentak pada 2017 kedepan, tingkat kepuasan publik mulai diragukan. Partai yang dipimpin oleh Muzakir Manaf tersebut, dalam sebagian lembaga survei menyatakan elektabilitasnya mulai redup, pasalnya ada berbagai asumsi penilaian yang muncul di kalangan masyarakat, baik dari segi penilaian lemahnya pencaturan ideologi politik maupun secara kebijakan partai yang cenderung tirani, maka dapat berpengaruh pada tingkat kepercayaan publik.
Jika kita melihat dari sisi konteks Visi-Misi Partai Aceh sendiri, sejauh ini memang belum cukup mampu di realisasikan. Padahal, Partai Aceh merupakan cita-cita masyarakat sebagai perahu yang akan membawa Aceh mewujudkan impian kemerdekaan, sebagaimana yang tertuang dalam UUPA dan MoU Helsinki. Namun sudah satu dekade di bawah pemerintahannya, impian itu masih belum terang, artinya Partai Aceh belum mampu menjadi partai sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat Aceh.
Tetapi yang paling krusialnya adalah dinamika yang terjadi di tubuh Partai Aceh, barangkali membuat sejumlah masyarakat gerah dengan praktik politik yang dimainkan oleh sebagian elit GAM. Ironinya hanya karena kekuasaan sebagian elit GAM keluar dari gelanggang dan membangun poros politik baru. Dinamika ini mulai dipertonton pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur 2012. Di mana ketika hasil keputusan partai tidak mendukung pencalonan Irwandi Yusuf yang ke dua kalinya. Gengster mulai pecah, Irwandi mulai bermanuver dengan sejumlah elit-elit GAM lainnya hingga mencalonkan diri jalur Independen dan sekaligus membangun gerbong baru dengan inisial PNA. Atau nama lengkapnya Partai Nasional Aceh.
Kemudian menjelang Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur 2017 ini, gengster kembali terpecah, terlepas dari sudut kausalitas pemicu konfliknya, namun dari segi realitasnya, kita ketahui bersama dari ke enam kontestan calon Gubernur tersebut, empatnya berlatar belakang eks petinggi GAM/Partai Aceh. Mereka ini lahir dan besar di bawah bendera yang sama, doktrin yang sama, tentu kepentingannya juga sama, sama-sama memperjuangkan Aceh dalam konteks kemerdekaan. Tapi kini format politik mereka berbeda. Pertanyaannya, kenapa harus beda?
Dalam prinsip para elit berpolitik, "bersama karena kepentingan, berpisah karena beda kepentingan" yang namun intinya adalah berbicara politik itu berbicara kepentingan". Nah, jika seperti itu, kepentingan apa yang mereka perjuangkan? Jika mereka berbicara soal kepentingan kemerdekaan, kenapa mereka tidak memperjuangkan di bawah bendera yang sama?
Memang, demokrasi punya warna tersendiri, namun kali ini kurang dipahami fisosofi di balik keindahan warna tersebut. Mereka lupa bercermin pada peristiwa dinamika politik yang terjadi di tubuh partai-partai Nasional hingga melahirkan kepengurusan ganda. Katakanlah misalnya Partai Golkar, ada kubu Aburizal Bakrie yang berseteru dengan kubu Agung Laksono, atau PPP, antara kubu pimpinan Djan Faridh dengan kubu Romahurmuziy. Meski harus menempuh jalur hukum hingga menghasilkan kekalahan pada salah satu kubu, namun profesionalitas elit-elit ini tetap terjaga dan tidak pernah keluar dari gelanggang.
Partai politik memang penuh dengan dinamika, namun prinsip loyalitas dan integritas terhadap partai adalah etika berpolitik yang sesungguhnya. Tidak perlu menunjukkan eksistensi bahwa "SAYA JUGA BISA", sebab ada yang tepuk-tangan atas sikap ke-egoisan ini.
Disadari atau tidak, dinamika ini menunjukkan sebuah kebodohan bagi elit GAM dalam berpolitik. Mereka semua terjebak pada kekuasaan dalam perangkap demokrasi.
Dinamika politik elit GAM tentu sangat berefek terhadap keberadaan Partai Aceh yang merupakan embrio organisasi perjuangan politik GAM dari perjuangan bersenjata sebelumnya. Kepercayaan masyarakat tidaklah berdiri di atas jargon atau slogan, justeru ada expire date-nya.
Kalau transformasinya seperti ini, Pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur 2022 mendatang, dapat dipastikan perpecahan gengster di tubuh GAM/Partai Aceh akan bertambah lagi. Miris! Ketika berada di medan peperangan, solidaritas mereka begitu teguh, walau peluru mengancam menembus nyawa mereka. Tetapi ketika gerakan ini berubah menjadi partai politik, semboyan "DONG BEUKONG BEUTEUDONG LAGE TEUPULA" mulai dipertanyakan.
Sebuah kisah di mana pejuang Aceh pernah dikalahkan oleh Kolonialisme dengan cara menghamburkan uang receh ke rantingan bambu. Apakah teori ini yang sedang terjadi di tubuh GAM/Partai Aceh? Wallahu'alam..
Padahal sebuah apresiasi sudah didapatkan bagi gerakan GAM sendiri, yang telah berjuang hingga melahirkan semangat bagi Aceh dalam bentuk UUPA dan MoU Helsinki. Tinggal bagaimana metode yang harus dijalankan agar semua itu terealisasi dengan efektif. Maka jika konflik internal terus terjadi seperti ini, ada kemungkinan manifesto MoU Helsinki akan berbuah pilu.
Aceh tidak bisa lepas dari riwayat sejarah perjuangan kemerdekaan. Sudah cukup Daud Beureueh dan tokoh-tokoh lain yang disalahkan oleh sejarah. Maka pastikan estafet pada gerakan GAM ini tidak akan mengulangi catatan sejarah itu lagi.
0 komentar:
Posting Komentar